
![]() |
Aksi protes di London - Suplied |
9 Negara, 20 Kota Aksi Serentak untuk Akses ke Papua
London, Jubi – Rabu, 29 April 2015 puluhan demonstran berbaju
hitam melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Indonesia untuk memimpin
aksi global menentang isolasi panjang di Papua
selama 50 tahun. Demonstrasi ini diorganisir oleh TAPOL dan Survival
Internasional dan didukung oleh Amnesty Internasional Inggris serta Free
West Papua
Campaign. Aksi ini diikuti oleh 22 aksi serupa di dunia untuk meminta
kebebasan dan keterbukaan akses untuk wilayah yang paling disembunyikan
di Indonesia ini. Sejak aneksasi di Papua
pada tahun 1963, Indonesia telah memberlakukan blokade media pada
wilayah kaya sumber daya alam yang diperebutkan, yang memungkinan pelaku
pelanggaran hak asasi manusia bertindak dengan mendapatkan impunitas
total. Papua adalah salah satu wilayah konflik yang terisolasi di Papua. Selama beberapa tahun, aparat keamanan di Indonesia secara brutal telah menindas gerakan pro kemerdekaan di Papua.
Hari Aksi Serentak untuk Kebebasan dan Keterbukaan Akses untuk Papua dilakukan di Papua,
Indonesia, Australia, New Zealand, the Solomon Islands, Scotland,
Germany, France, Italy dan Spain. Aksi di Los Angeles, New York dan San
Francisco dilakukan sehari sebelumnya. Aksi ini adalah upaya koordinasi
global, yang pertama dari jenisnya, menunjukkan bahwa solidaritas di
seluruh dunia untuk Papua telah mencapai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Esther Cann dari TAPOL, sebuah organisasi HAM di London yang
mengkoordinir aksi ini menyatakan: “Dunia belum pernah tampak melakukan
dukungan serupa ini untuk Papua. LSMs, anggota parlemen dan kelompok solidaritas diseluruh dunia memberitahu Indonesia bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak bisa lagi diabaikan. Suara orang Papua harus didengar. Dalam era informasi ini, sangat mengejutkan bahwa ada daerah tertutup seperti Papua.”
Dari Pulau Solomon sampai Scotlandia sampai San Fransisco, ratusan
demonstran dari 22 kota di 10 negara berbeda bersatu untuk meminta
kebebasan dan keterbukaan di Papua. Demonstran menggunakan baju hitam, menunjukkan ketertutupan media di Papua.
Mereka bersatu untuk meminta Presiden Joko Widodo memenuhi janji pada
masa pemilihan presiden untuk membuka akses bagi jurnalis internasional,
kelompok kemanuisaan dan organisasi HAM. Aksi diam 3 menit dilakukan
untuk menjadi simbol pembungkaman media di Papua.
Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang disembunyikan di Papua. Lalu mengapa hampir tidak mungkin wartawan dan organisasi HAM melaporkan situasi di Papua? Kita tahu bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, tapi kami masih tidak tahu skala pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi selama 50 tahun terakhir, ” kata Cann.
“Hari aksi global ini adalah upaya kami untuk mengatakan kepada
pemerintah Indonesia bahwa dunia sedang memperhatikan. Meskipun mereka
terus mengisolasi Papua
selama 50 tahun, dunia tidak melupakannya. Kebenaran harus terungkap
dan harus disampaikan,”kata aktivis hak asasi manusia Peter Tatchell,
yang turut serta dalam aksi tersebut.
Di akhir aksi, sebuah surat kepada Presiden Jokowi yang ditandangani oleh 51 orang dan organisasi dari Papua,
Indonesia dan kelompok internasional serta anggota parlemen diserahkan
langsung kepada Kedutaan Besar Indonesia di London. Surat tersebut
menunjukkan bahwa “blokade media di Papua telah memberangus hak orang-orang Papua
untuk didengar suaranya dan membuka ruang pelanggaran HAM seperti
pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang berlangsung tanpa
tindakan penghukuman/impunitas… Secara de-fakto, pelarangan jurnalis
internasional, LSM dan organisasi kemanusiaan berkontribusi terhadap
isolasi kepada jurnalis di Papua
dan menyebabkan investigasi independen dan pembuktian hampir tidak
mungkin dilakukan. Sebuah petisi Avaaz meminta kebebasan media di Papua telah diinisiasi oleh Free West Papua Campaign dan ditandatangani oleh lebih dari 47,000 dan disampaikan kepada Presiden Jokowi oleh mahasiswa Papua di Jakarta hari ini.
Reporters without Brothers, salah satu penanda tangan surat bersama,
mengkritik kebebasan media yang semakin terbatas. Benjamin Ismail,
Kepala Desk Asia-Pasifik di Reporters without Borders mengatakan,
“peringkat Indonesia dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia telah memburuk
secara dramatis dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2015, Indonesia
berada pada peringkat 138 dari 180 negara. Posisi tahun ini terutama
adalah hasil dari blokade media di Papua Barat yang dibatasi oleh otoritas negara.”
Akses untuk pemantau HAM telah ditutup dalam 8 tahun. Beberapa tahun
terakhir, kelompok kemanusiaan dan organisasi HAM internasional telah
dipaksa unatuk menutup kantor mereka dan meninggalkan Papua. Jurnalis dan lembaga swadaya masyarakat internasional yang bermaksud untuk mengunjungi Papua
saat ini disyaratkan untuk menjalani proses visa ketat yang melibatkan
persetujuan dari 18 instansi pemerintah yang berbeda-beda yang dikenal
dengan Komite Clearing House.
Pada Oktober tahun lalu, dua orang jurnalis Prancis telah dihukum 11
minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Pada sidang
Dewan HAM bulan lalu, Valentine Bourrat, salah satu dari dua orang
jurnalis Prancis yang ditangkap menyatakan: .. menetapkan Papua
tertutup bagi jurnalis menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
menyembunyikan pelanggaran HAM. Sebagai jurnalis kami tidak bisa
membiarkan pembunuh menang dalam keheningan.”
Laporan independen yang dilakukan oleh jurnalis lokal dan nasional
berada dalam kondisi berbahaya dan beresiko terhadap kematian.
Berdasarkan AJI Papua, pada tahun 2014 telah terjadi 20 orang peristiwa kekerasan dan intimidasi yang terjadi kepada jurnalis di Papua.
“Jurnalis di Papua
harus bisa bekerja tanpa intimidasi, teror, dan ancaman dari pihak
pemerintah melalui aparat keamanan. Kita harus bisa melaporkan secara
independen tanpa takut akan pembatasan, Mengapa hal ini tidak dijamin
untuk wartawan di Papua? Kalau dianggap warga negara, mengapa hak-hak kami tidak dihargai?” kata Oktovianus Pogau, wartawan Suara Papua.
Selama kampanye presiden, Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada yang harus disembunyikan di Papua dan berjanji untuk membuka wilayah ini. Sekarang, 6 bulan pada masa pemerintahannya, Papua
masih tertutup dari komunitas internasional. Ketika Presiden Jokowi
berjanji dalam komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu, penghukuman terhadap 8 terpidana yang diduga melakukan
perdagangan narkoba justru terjadi kurang dari 24 jam yang lalu
meragukan arah masa depan HAM di Indonesia. (*)
Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Admin Jubi on April 30, 2015 at 12:27:02 WP [Editor : Victor Mambor]
http://tabloidjubi.com/2015/04/30/9-negara-20-kota-aksi-serentak-untuk-akses-ke-papua/
