Menguak Prakter Prostitusi Terselubung Mahasiswi Di Malang Yang Juga Layani Dosen Demi Nilai Yang Baik
Praktik bisnis “ayam kampus” tak hanya terjadi di kota pelajar Yogyakarta. Di Malang, Jawa Timur, yang memiliki sebutan kota pendidikan
 juga menjamur bisnis tersebut. Pelakunya adalah oknum mahasiswi yang 
kuliah di sejumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, yang ada
 di Malang.
Dari pengakuan salah satu pelaku ayam kampus di Malang, ia nekat 
terjun ke dunia bisnis esek-esek karena keperawanannya sudah direnggut 
sejak masih duduk di bangku SMP. Dari penelusuran Kompas.com, mayoritas umur mahasiswa yang berprofesi ayam kampus berumur 19 hingga 22 tahun.
“Dari teman-teman saya yang masuk ke dunia itu (ayam kampus), 
mayoritas karena sudah tidak perawan sejak SMP. Ada yang sejak SMA. Saat
 pacaran, sang pacar mengajak berhubungan. Ancaman jika tak mau 
(berhubungan intim) akan diputus. Terpaksa harus mau karena saat itu 
masih cinta monyet,” aku DY (20), salah seorang mahasiswi yang ditemui Kompas.com, di sebuah kafe di Kota Malang, Minggu (28/10/2012) malam.
Sebutan ayam kampus itu sudah menjadi istilah umum bagi para mahasiswi yang menyambi menjadi pekerja seks komersial (PSK) terselubung. Menurut DY, sebagian besar ayam kampus di Malang berlatar belakang dari keluarga yang bermasalah (broken home).
 Bukan hanya karena faktor impitan ekonomi. “Setahu saya, dari keluarga 
mampu semua. Ada yang memang faktor ekonomi, tapi tidak banyak, bahkan 
jarang. Itu yang saya kenal,” aku DY yang mewanti-wanti namanya tidak 
ditulis.
Ditanya soal operasi dan cara transaksinya, DY menceritakan, untuk di
 Malang, trennya sudah mulai berubah. “Jika awal-awal, asal ada yang 
‘pesan’, harga cocok, siap aja. Tapi tren sekarang para ayam kampus 
memilih aman. Yakni ‘dipelihara’ oleh para om-om atau pengusaha atau 
pejabat penting. Kalau pejabat jarang yang dari Malang sendiri, tapi 
dari luar Malang,” akunya.
Para pejabat, lanjut DY, datang ke Malang biasanya di hari-hari libur akhir pekan. Tinggalnya di hotel atau di sebuah vila seperti di Kota Batu. “Jika pengusaha tergantung panggilan,” katanya. Menurutnya, ayam kampus yang “dipelihara” biasanya dibayar secara 
bulanan. “Umumnya, kalau sudah ada yang memelihara, per bulannya minimal
 Rp 5 juta dan maksimal Rp 10 juta. Kalau harga sekali ‘main’ umumnya 
ayam kampus di Malang dibanderol paling rendah Rp 500.000. Maksimal Rp 1
 juta,” ujar DY “Ayam kampus” di Malang, Jawa Timur memang sulit dideteksi. Mereka 
bisa dipanggil hanya melalui orang-orang yang sudah dikenalnya. Untuk 
menutupi statusnya sebagai “ayam kampus”, kebanyakan dari mereka 
memanfaatkan sang pacar.
DY, “ayam kampus” yang juga mahasiswi fakultas ekonomi salah satu 
perguruan tinggi di Malang ini mengaku, “ayam kampus” biasanya nongkrong
 di tempat-tempat hiburan malam, seperti kafe dan karaoke. “Bahkan ada 
juga yang mangkal di karaoke khusus keluarga,” katanya. Peminatnya, beber DY, adalah lelaki hidung belang yang penghasilannya per bulan minimal Rp 25 juta.
 “Kalau dari kalangan mahasiswa sendiri jarang, karena terbentur dengan 
ekonomi yang masih dibantu orang tua. Umumnya mahasiswa hanya dijadikan 
pacar agar tidak diketahui bahwa dia juga berprofesi sebagai ‘ayam 
kampus’,” katanya.
Dia mengaku masuk ke dunia “ayam kampus” karena dikenalkan oleh 
temannya. “Kalau saya, pertama kali teman yang memperkenalkan ke dunia 
itu, karena stres kondisi keluarga sudah tak peduli masa depan saya,” 
aku DY. Tempat yang dipakai untuk kencan, menurut DY, kebanyakan di hotel 
berbintang di Malang. “Kalau malam, diajak ke kafe atau karaoke dulu. 
Sering juga diajak minum dulu. Tapi kalau malam, terbatas. Karena jam 
22.00 WIB, sudah harus ada di kos. Boleh malam, tapi sudah izin ke luar 
kota ke ibu kos,” katanya. 
Untuk menemukan “ayam kampus” juga tidak mudah. Jika tidak kenal, 
tidak akan bersedia.Biasanya, “ayam kampus” mau diajak kencan jika sudah
 kenal atau dikenalkan oleh orang dekat, tapi bukan teman-temannya di 
kampus. “Jika si hidung belang yang langsung menghubungi teman-teman 
tidak bersedia. Khawatir terbongkar,” katanya.
Di Kota Malang, hingga kini sudah mulai menjamur hiburan malam, mulai
 dari wilayah Lawang (Malang wilayah utara), hingga kota Batu. Tempat 
hiburan malam inilah yang kerap dijadikan ajang perkenalan hingga 
transaksi para “ayam kampus”. “Namun, banyak beroperasi di kafe-kafe yang ada di Kota Malang. Bisa 
juga dibawa jalan-jalan ke luar Malang kalau di kampus libur,” ujarnya. 
Berbeda dengan pekerja seks komersial yang menjual dirinya secara 
terbuka di tempat-tempat prostitusi, mahasiswi yang terjun ke bisnis 
“ayam kampus” cenderung menutupi pekerjaannya itu dan hanya menjajakan 
jasanya kepada orang-orang tertentu. Keamanan menjadi alasannya sebab 
mereka tidak mau pekerjaannya itu diketahui orang lain.
Kini, dengan meledaknya perkembangan media sosial via internet, para ayam kampus pun memanfaatkannya untuk “berbisnis”. “Pembicaraan awal menggunakan FB (Facebook), BBM (BlackBerry Messenger), atau YM (Yahoo Messenger).
 Jika sudah, saya akan menghubungi untuk ketemuan. Kebanyakan dari klien
 saya adalah om-om,” ungkap BG, mahasiswi berumur 24 tahun yang mengaku 
sudah dua tahun terjun ke dunia ini.
BG dalam perbincangan dengan Kompas.com
 beberapa waktu lalu mengakui, tidak mudah berkomunikasi dengan para 
ayam kampus. Sebab, semua harus melewati rekomendasi dari teman 
seprofesi atau orang yang sudah pernah berkencan. “Kami tidak ingin 
pribadi kami ketahuan atau tersebar di mana-mana karena itu kami sangat 
sulit dicari. Orang-orang bilang kami ini PSK high class,” tuturnya. Transaksi pun tidak bisa dilakukan dalam satu hari jadi. Klien harus 
melakukan pendekatan ekstra untuk bisa mengajak kencan. BG sendiri lebih
 senang diajak makan, dugem, atau nonton. Baru setelah merasa nyaman, 
transaksi bisa dilakukan.
Usaha ekstra untuk bisa bertemu dan berhubungan itulah yang membuat 
para klien merasa penasaran. “Ketika mereka sudah penasaran, kami bisa 
meminta harga mahal. Itulah untungnya jika transaksi dilakukan lewat 
media sosial,” paparnya. BG juga mengaku pernah hampir jatuh cinta dengan kliennya. Intensitas
 pertemuan dan perhatian pelanggannya itu membuatnya jatuh hati. “Karena
 merasa tidak pantas, akhirnya saya memutuskan menjauh,” ungkap BG.
Tarif ayam kampus memang tergolong mahal, terlebih jika dibandingkan dengan PSK di lokalisasi. Untuk sekali booking,
 diperlukan biaya Rp 500.000 sampai Rp 800.000. Harga itu belum termasuk
 pengeluaran untuk belanja dan makan. “Tarif kencan tergantung di mana 
ayam kampus itu kuliah. Kalau kuliah di universitas terkenal, tarifnya 
akan lebih mahal dibandingkan dengan yang kuliah di universitas yang 
biasa-biasa saja,” ujar BG lagi.
Berbeda pula dengan PSK di lokalisasi, BG mengaku, dalam satu bulan 
ayam kampus biasanya hanya melayani dua-tiga klien. Klien yang dilayani 
pun kebanyakan menjadi pelanggan tetap. “Kadang, kalau lagi males, ya, 
bisa satu bulan tidak cari klien. Namun, kalau lagi kebutuhan banyak, 
bisa beberapa kali kencan,” ucapnya.
Mereka pun lebih memilih tempat kencan yang aman dan cenderung 
berkelas. “Saya lebih menikmati dan merasa aman jika dilakukan di hotel 
atau vila di Kaliurang. Lebih aman dan kemungkinan bertemu dengan orang yang kenal sedikit,” tutupnya. Mahasiswi yang nyambi menjadi “ayam kampus” di Malang mengaku sering 
melayani pemain sepakbola, terutama para pemain asing yang merumput di 
liga Indonesia.
Hal itu setidaknya diakui DY, salah satu “ayam kampus” yang bersedia diwawancarai Kompas.com di salah satu kafe di Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (28/10/2012) lalu. “Banyak pemain bola yang sering booking teman-teman, tak hanya 
pengusaha atau pejabat,” kata perempuan yang kini masih kuliah di salah 
satu perguruan tinggi negeri di Malang. “Kalau pemain lokal, jarang. Ada
 juga (pemain lokal) tapi tidak sering booking. Kalau pemain asing, 
hampir setiap selesai pertandingan pasti booking,” kata gadis berusia 22
 tahun ini.
Untuk menghubunginya? DY mengaku biasanya melalui perantara. “Karena 
kalau tidak kenal, teman-teman tidak mau. Komitmennya begitu. Jika ada 
pemesan, kita punya sandi atau bahasa tersendiri,” katanya. Namun dia 
tidak mau menyebutkan bahasa sandi yang dimaksud. Soal tarif booking, DY menyebutkan tidak memberlakukan harga khusus. 
Baik pemain bola maupun umum sama, rata-rata Rp 750 ribu hingga Rp 1 
juta per sekali kencan. Uang hasil kencan itu dipakai untuk biaya hidup 
selama kuliah.
Apakah jika melayani “konsumen” pernah jatuh cinta? DY mengaku tidak 
pernah. “Tidak pernah jatuh cinta ke pemesan. Karena sudah ada pacar. 
Jika jatuh cinta akan berisiko,” katanya santai. Mahasiswi yang nyambi 
menjadi “ayam kampus” mengaku kerap mengajak kencan para dosen yang 
mengajarnya di kampus. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan nilai bagus 
walau sering tidak masuk kuliah dan tidak maksimal mengerjakan tugas 
mata kuliahnya.
“Mengajak kencan dosen yang ngajar lebih efektif, tetapi tidak semua 
dosen diajak dan mau diajak,” tutur SF, salah seorang mahasiswi di salah
 satu perguruan tinggi di Malang, saat ditemui Kompas.com di sebuah rumah kontrakan di Kota Malang, Senin (29/10/2012) malam. Menurut perempuan berusia 21 tahun ini, mengajak kencan adalah 
senjata terakhir untuk meluluhkan dosen yang killer dan pelit memberi 
nilai. “Tak jarang para dosen yang pelit akan nilai. Banyak juga dosen 
yang killer. Disogok pakai uang atau bingkisan jarang mau,” kata SF.
“Ya, diajak ketemuan di rumah makan atau di kafe sederhana. Setelah 
lumayan akrab, mulai memancing ke arah hubungan intim,” lanjutnya.
Namun, para dosen, lanjut SF, ternyata tidak mudah untuk diajak 
berhubungan intim. “Tidak langsung mau. Harus berkali-kali ngajak dan 
terus didekati. Kalau sudah gol, sudah pasti memberikan nilai bagus 
walau jarang masuk,” akunya. Ditanya apakah juga dibayar oleh sang dosen? SF mengaku, untuk kelas 
dosen, gratis. “Karena yang butuh kita. Bukan dosennya. Teman-teman yang
 berprofesi itu (“ayam kampus”) memang sering bolos kuliah. Malas mau 
ngerjain tugas. Jadinya, berbagai upaya dilakukan agar dapat nilai 
bagus,” katanya.
Setelah berhasil mengajak berhubungan seks dengan oknum dosennya, SF 
mengaku, para dosen tersebut akhirnya ketagihan. “Tak jarang minta 
berhubungan lagi. Ya, kita turuti, tetapi sifatnya tidak memaksa. Kalau 
ngajak via sms. Misalnya, ‘ada waktu ketemu?’. Itu cara ngajaknya,” 
beber SF.
Umumnya, kata SF, dosen yang bisa diajak kencan usianya masih muda. 
Kencannya dilakukan di hotel sederhana. “Kalau dosen ambil hotel 
sederhana. Tak terlalu mahal. Yang penting aman,” kata perempuan yang 
mewanti-wanti namanya tidak dituliskan ini. Seperti apa hotel yang dianggap aman itu? SF mengaku hotel yang bukan
 menjadi langganan “klien”-nya. “Karena kalau dosen, kan, bukan 
langganan,” katanya lantas tersenyum.
Lebih lanjut SF mengaku, awalnya dia tak mau melakukan hubungan seks 
di luar nikah. Namun, karena dirinya sudah tidak perawan sejak SMA dan 
sudah terbiasa, akhirnya dia menikmati menjadi “ayam kampus”.
“Saya sudah terbiasa dan diakibatkan karena tak perawan lagi. Saat 
SMA, pacar saya mengajak berhubungan, jika tak mau, akan diputus. 
Orangtua saya berantakan. Mama cerai dengan papa,” keluhnya.
Padahal, SF mengaku berasal dari keluarga kaya. “Papa saya seorang 
pengusaha. Mama juga pengusaha. Tapi papa selingkuh, mama akhirnya juga 
selingkuh. Ketahuan cerai. Saya jadi korbannya. Soal uang saya tak 
kekurangan. Tapi kedua orangtua sudah kurang peduli. Cuma kirim uang 
saja, tak mau tahu kondisi saya,” aku SF.
Untuk menyamarkan profesinya sebagai “ayam kampus”, beberapa 
mahasiswi di Malang ada yang mengenakan kerudung plus busana tertutup. 
Trik tersebut digunakan DY dan SF, dua mahasiswi yang bersedia 
diwawancarai Kompas.com di sebuah kafe di Kota Malang pada Senin (29/10/2012) malam.
“Cara pakai busana muslim atau pakai kerudung sudah biasa dilakukan. 
Karena kalau di Malang, kabar adanya ‘ayam kampus’ itu sudah menjadi 
rahasia umum. Untuk menutupi image negatif itu, harus pakai jilbab,” aku
 DY.
“Jika pakai jilbab, di kalangan mahasiswa sendiri, tergolong bukan 
‘ayam kampus’. Umumnya, yang diketahui para mahasisiwa dan mahasiswi, 
‘ayam kampus’ itu tidak menggunakan jilbab,” nilai DY.
Ia mengatakan, kerudung dipakai saat hanya pergi ke kampus. Di luar 
kampus, DY mengenakan pakaian biasa. “Kalau ke pelanggan, malah jarang 
yang mau pakai jilbab. Karena mayoritas pemesannya, tidak suka. Ada juga
 yang cari berjilbab, tetapi jarang,” kata perempuan berkulit putih itu.
Hal yang sama juga diakui SF saat ditemui di rumah kontrakannya di 
wilayah Dinoyo, Kota Malang. “Hanya saat akan ke kampus pakai jilbab 
karena pergaulan saya di kampus seperti biasa. Harus tidak ada yang tahu
 profesi saya, kecuali teman seprofesi,” akunya. Sementara itu, DY dan SF mengaku, setelah keduanya lulus menjadi 
sarjana, mereka akan meninggalkan profesi “ayam kampus”. “Setelah 
sarjana, profesi ini akan dibuang. Akan menata keluarga yang baik. 
Makanya, saya menjalin hubungan baik dengan pacar saat ini,” ujar DY.
Menjajakan diri kepada pria hidung belang, kata DY, bukan kehendak 
nurani, tetapi hanya nafsu semata. “Hanya karena jalan pengobat stres, 
frustasi akibat tak dipedulikan orang tua,” keluhnya.
Kebanyakan “ayam kampus”, nilai DY, juga tergiur dengan pola hidup 
mewah, glamor, dan serbainstan. “Kalau tak kunjung sadar, kuliahnya 
amburadul, dan bisa memutuskan jadi PSK di lokalisasi. Semoga tidak 
sampai demikian,” katanya sembari merundukkan kepala.
Sebelumnya, diberitakan, mahasiswi yang nyambi menjadi “ayam kampus” 
juga mengaku kerap melayani beberapa dosen yang mengajarnya di kampus. 
Hal itu dilakukan untuk mendapatkan nilai bagus walau sering tidak masuk
 kuliah dan tidak maksimal mengerjakan tugas mata kuliahnya.“Mengajak kencan dosen yang ngajar lebih efektif, tetapi tidak semua dosen diajak dan mau diajak,” tutur SF.
Sementara langganan tetap para “ayam kampus” ini kebanyakan berasal 
dari kalangan pengusaha dan pejabat. Namun, untuk pejabat, menurut 
pengakuan DY, kebanyakan dari luar Malang.
Selain itu, ada juga “ayam kampus” yang melayani pemain bola di klub Liga Indonesia. Rata-rata mereka adalah pemain asing.
