Welcome to La Pago ★ Heart of Papua ★ Voice of the Free Papua Central Highlands Region of Papua ★ Perjuangan Melawan Antara Tipu dan Benar, Benar Melawan Tipu".
Headlines News :

Maaf, Rakyat NTT Ingin Merdeka?

13652035401547075032

Rakyat NTT Ingin Merdeka?

BEBERAPA wilayah otonom di Indonesia memiliki sejarah perjuangan ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Timor Leste (dahulu Timor Timur) sudah merdeka. Aceh berjuang sampai ke level internasional dan kini mendapat status khusus – kini bisa memiliki partai politik lokal. Papua sesekali masih bergolak dan menimbulkan korban jiwa di sana-sini, lantaran ada sekelompok orang yang tak pernah berhenti ingin mendirikan negara sendiri.  Bagaimana dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT?

Bulan Agustus masih lama. Tak soal kita bicara topik kemerdekaan ini empat bulan lebih dini.  Lebih khusus mengenai NTT yang sebagian besar masyarakat NTT rindu kemerdekaan.  Alasannya sederhana, sudah hampir 68 tahun Indonesia merengkuh kemerdekaan dari penjajahan Belanda, tapi sampai saat ini masyarakat NTT belum menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya.

Maaf, topic ini sama sekali tak terkait dengan penyerbuan ke Lapas Cebongan, Sleman, yang menewaskan empat warga asal NTT. Juga bukan soal merdeka secara kedaulatan alias pisah dari NKRI.  Masyarakat NTT hanya menginginkan perhatian lebih dari Pemerintah Pusat dan para wakil rakyat yang duduk di kursi empuk Senayan, Jakarta. Juga pemerintah daerah dari  level provinsi sampai kabupaten/kota.
Sedih. Bila berkeliling ke daerah-daerah lain di Indonesia, saya dibuat terkagum-kagum dan iri melihat  berbagai kemajuan yang mereka capai. Pembangunan infrastruktur digesa di mana-mana. Perekonomian pun tampak menggeliat bak naga yang sedang meronta hebat.  Tapi ketika kembali ke NTT, begitu mendarat di Bandar Udara El Tari, langsung terasa bedanya.

Fasilitas di Terminal Bandara El Tari  tertinggal 50-60 tahun dibanding bandara-bandara lain di Indonesia. Terminal sempit, ruang tunggu sempit dan sumpek, toilet bau busuk dan tampak sangat tak terurus, conveyor bagasi Cuma satu unit, serta naik/turun dari dan ke pesawat harus jalan kaki (tidak ada fasilitas garbarata atau aviobridge).

Itu kondisi di Bandara El Tari, Kota Kupang, pintu gerbang utama Provinsi NTT.  Kalau “ruang tamunya” saja seperti itu, bagaimana dengan ruang-ruang yang lain?  Silakan Anda bayangkan!

Anggaran sedikit, tidak fokus

Lantas, adakah kemajuan di NTT? Harus saya akui: ada!  Setelah 12 tahun meninggalkan Kupang, saya beberapa kali pulang kampung. Saya melihat sejumlah ruas jalan utama menjadi lebih lebar. Panjang jalan juga bertambah. Akses jalan dari Kota Kupang ke beberapa kabupaten di daratan Timor, seperti ke TTS, TTU, dan Belu menjadi lebih luas. Aliran listrik pun kini menjangkau lebih banyak warga.
Namun, apabila kita membandingkannya dengan provinsi lain, terutama di wilayah barat Indonesia, kita akan merasakan bahwa kemajuan di NTT sangat jomplang. NTT tertinggal beberapa puluh tahun di belakang. Mengapa demikian?

Mari kita cermati anggaran pusat bagi Provinsi NTT dibanding provinsi lain menurut data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun 2012. Mari kita coba cermati Ruang Fiskal-nya (fiscal space) saja. Ruang fiskal merupakan konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah.
Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah. Ruang fiskal diperoleh dengan cara mengurangi total Pendapatan Daerah dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya mengikat seperti Belanja Pegawai dan Belanja Bunga.

Berdasar data Kemenkeu (2012), ruang fiskal yang dimiliki NTT hanya sebesar 30,1 persen atau berada di bawah rata-rata nasional sebesar 37,85 persen.  Rendahnya ruang fiskal tersebut mengakibatkan Pemerintah Provinsi NTT tidak memiliki cukup keleluasaan  untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya, termasuk membangun infrastruktur guna pendukung pertumbuhan ekonomi.
Kondisi tersebut diperparah oleh kebijakan pemerintah setempat dalam menyusun dan merencanakan prioritas pembangunan. Pemrov NTT tampaknya tidak cerdas (tidak mau?) dalam pengalokasian belanja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki daya ungkit (leverage) tinggi bagi perekonomian daerah itu.

Tidak waras

Bukannya fokus pada sektor-sektor yang benar-benar unggul dan memiliki daya ungkit tinggi, Pemprov NTT (didukung pemerintah pusat), malah lebih suka mengeksploitasi hasil tambang seperti logam mangan, chrome, nikel, tembaga, dan emas. Ya, di era pemerintahan saat ini, Pemrov NTT menempatkan eksploitasi tambang mineral sebagai produk unggulan. (SUMBER)

Kebijakan itu sangat menggelikan karena PAD dari sektor pertambangan sangat kecil dan tidak memiliki Multiplier Effect  bagi masyarakat lokal secara luas.  Kepada Timor Express edisi 28 Mar 2013, Kepala Dinas Pertambangan NTT, Danny Suhadi, menyebutkan,  PAD NTT dari sektor pertambangan pada tahun 2012  sebesar Rp 400 juta.  Semakin menggelikan lagi karena target 2013 turun 50 persen menjadi hanya Rp 200 juta!  Produk unggulan kok targetnya menurun sampai 50 persen? Ini bukan bodoh lagi, tapi tidak waras alias gila!

Sebaliknya Pemprov NTT menganaktirikan sektor pertanian (termasuk peternakan) yang sejak lama menjadi andalan NTT (Tahun 2009-2011 sektor pertanian menyumbang 37 % PAD, tertinggi disbanding sector lainnya) . Tapi pertanian justru tak masuk unggulan.  Misalnya sektor peternakan yang sejak berpuluh tahun menjadi unggulan mampu mengekspor sapi potong (sapi bali), kini semakin dilupakan. Akibatnya, NTT yang dahulu dikenal sebagai gudang ternak, kini tinggal “gudangnya” saja.

Kayu cendana/hau meni (Santalum album) yang berbau harum itu pernah berlimpah di Pulau Timor (TTS - TTU), kini baunya pun nyaris tak ada. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, konon banyak pedagang dari Cina jauh-jauh datang ke Timor untuk membeli kayu berbau harum itu.

Dahulu NTT adalah penghasil kunyit/kunir, kini tak ada kabarnya lagi. Jeruk keprok SoE  (lemon cina) hampir lenyap. Apel Soe sudah lama lenyap. Banyak lagi komoditas yang pernah berjaya justru tak bersisa ketika ada campur tangan pemerintah dengan aneka kebijakan aneh bin ajaibnya.

Komodo! Ini binatang purba yang hanya ada di NTT (habitat asli).  Berarti sector pariwisata wajib digenjot dalam kecepatan tinggi. Faktanya, NTT punya komodo tapi Bali dan NTB yang menikmati hasilnya dari kunjungan turis asing.  Orang NTB dan Bali dapat uangnya, orang NTT cukup puas  dapat nama kosong.  Asal tahu saja, tahun ini (Agustus 2013) akan ada Sail Komodo. Tentu saja NTT tuan rumahnya. Melihat dari persiapan yang ada, saya skeptis kegiatan tersebut akan berhasil, apalagi memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat NTT.

Konsumerisme 

Anehnya, ketika sebagian besar rakyatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan (NTT Provinsi termiskin nomor lima di Indonesia – lihat tabel di akhir tulisan ini), pemerintahnya justru menggiring rakyatnya sendiri masuk dalam jebakan konsumerisme.

Lihatlah betapa maraknya retailer besar (hypermarket) dan supermarket di Kota Kupang saat ini. Mungkin banyak orang Kupang gembira ria dan bangga dengan hadirnya “toko superbesar” nan megah dan modern itu.

Itu bagus untuk cuci mata, tapi terus terang, biasanya mereka lebih banyak mengeruk uang kita daripada memberi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Penyerapan tenaga kerja lokal pun paling banyak 50 orang.

Itulah mengapa Joko Widodo (Jokowi) kala menjadi Wali Kota Surakarta menolak memberi izin operasi bagi sejumlah supermarket/hypermarket dan minimarket waralaba bermodal besar.  Terbalik 180 derajat dengan elite di NTT dengan dukungan pusat yang lebih suka rakyatnya dijajah.
Pertanyaannya, sudah merdeka kah rakyat NTT? (*)

10 PROVINSI TERMISKIN DI INDONESIA
No    Propinsi                                        Angka Kemiskinan (%)
1       Papua Barat                                                    36,80
2       Papua                                                               34,88
3       Maluku                                                            27,74
4       Sulawesi Barat                                              23,19
5       Nusa Tenggara Timur                       23,03
6      Nusa Tenggara Barat                                  21,55
7      Aceh                                                                 20,98
8      Bangka Belitung                                           18,94
9      Gorontalo                                                       18,70
10    Sumatera Selatan                                        18,30

Sumber: Sensus Nasional BPS 2010
Share this post :