BEBERAPA wilayah otonom di Indonesia memiliki sejarah
perjuangan ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Timor Leste (dahulu Timor Timur) sudah merdeka. Aceh berjuang
sampai ke level internasional dan kini mendapat status khusus – kini
bisa memiliki partai politik lokal. Papua sesekali masih bergolak dan
menimbulkan korban jiwa di sana-sini, lantaran ada sekelompok orang yang
tak pernah berhenti ingin mendirikan negara sendiri. Bagaimana dengan
Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT?
Bulan Agustus masih lama. Tak soal kita bicara topik kemerdekaan ini
empat bulan lebih dini. Lebih khusus mengenai NTT yang sebagian besar
masyarakat NTT rindu kemerdekaan. Alasannya sederhana, sudah hampir 68
tahun Indonesia merengkuh kemerdekaan dari penjajahan Belanda, tapi
sampai saat ini masyarakat NTT belum menikmati kemerdekaan yang
sesungguhnya.
Maaf, topic ini sama sekali tak terkait dengan penyerbuan ke Lapas
Cebongan, Sleman, yang menewaskan empat warga asal NTT. Juga bukan soal
merdeka secara kedaulatan alias pisah dari NKRI. Masyarakat NTT hanya
menginginkan perhatian lebih dari Pemerintah Pusat dan para wakil rakyat
yang duduk di kursi empuk Senayan, Jakarta. Juga pemerintah daerah
dari level provinsi sampai kabupaten/kota.
Sedih. Bila berkeliling ke daerah-daerah lain di Indonesia, saya dibuat
terkagum-kagum dan iri melihat berbagai kemajuan yang mereka capai.
Pembangunan infrastruktur digesa di mana-mana. Perekonomian pun tampak
menggeliat bak naga yang sedang meronta hebat. Tapi ketika kembali ke
NTT, begitu mendarat di Bandar Udara El Tari, langsung terasa bedanya.
Fasilitas di Terminal Bandara El Tari tertinggal 50-60 tahun dibanding
bandara-bandara lain di Indonesia. Terminal sempit, ruang tunggu sempit
dan sumpek, toilet bau busuk dan tampak sangat tak terurus, conveyor
bagasi Cuma satu unit, serta naik/turun dari dan ke pesawat harus jalan
kaki (tidak ada fasilitas garbarata atau aviobridge).
Itu kondisi di Bandara El Tari, Kota Kupang, pintu gerbang utama
Provinsi NTT. Kalau “ruang tamunya” saja seperti itu, bagaimana dengan
ruang-ruang yang lain? Silakan Anda bayangkan!
Anggaran sedikit, tidak fokus
Lantas, adakah kemajuan di NTT? Harus saya akui: ada! Setelah 12 tahun
meninggalkan Kupang, saya beberapa kali pulang kampung. Saya melihat
sejumlah ruas jalan utama menjadi lebih lebar. Panjang jalan juga
bertambah. Akses jalan dari Kota Kupang ke beberapa kabupaten di daratan
Timor, seperti ke TTS, TTU, dan Belu menjadi lebih luas. Aliran listrik
pun kini menjangkau lebih banyak warga.
Namun, apabila kita membandingkannya dengan provinsi lain, terutama di
wilayah barat Indonesia, kita akan merasakan bahwa kemajuan di NTT
sangat jomplang. NTT tertinggal beberapa puluh tahun di belakang.
Mengapa demikian?
Mari kita cermati anggaran pusat bagi Provinsi NTT dibanding provinsi
lain menurut data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun
2012. Mari kita coba cermati Ruang Fiskal-nya (fiscal space) saja. Ruang
fiskal merupakan konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki
pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan
yang menjadi prioritas daerah.
Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan semakin
besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah. Ruang fiskal diperoleh
dengan cara mengurangi total Pendapatan Daerah dengan pendapatan yang
sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya
mengikat seperti Belanja Pegawai dan Belanja Bunga.
Berdasar data Kemenkeu (2012), ruang fiskal yang dimiliki NTT hanya
sebesar 30,1 persen atau berada di bawah rata-rata nasional sebesar
37,85 persen. Rendahnya ruang fiskal tersebut mengakibatkan Pemerintah
Provinsi NTT tidak memiliki cukup keleluasaan untuk melakukan belanja
pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya, termasuk membangun
infrastruktur guna pendukung pertumbuhan ekonomi.
Kondisi tersebut diperparah oleh kebijakan pemerintah setempat dalam
menyusun dan merencanakan prioritas pembangunan. Pemrov NTT tampaknya
tidak cerdas (tidak mau?) dalam pengalokasian belanja pada
kegiatan-kegiatan yang memiliki daya ungkit (leverage) tinggi bagi
perekonomian daerah itu.
Tidak waras
Bukannya fokus pada sektor-sektor yang benar-benar unggul dan memiliki
daya ungkit tinggi, Pemprov NTT (didukung pemerintah pusat), malah lebih
suka mengeksploitasi hasil tambang seperti logam mangan, chrome, nikel,
tembaga, dan emas. Ya, di era pemerintahan saat ini, Pemrov NTT
menempatkan eksploitasi tambang mineral sebagai produk unggulan. (SUMBER)
Kebijakan itu sangat menggelikan karena PAD dari sektor pertambangan
sangat kecil dan tidak memiliki Multiplier Effect bagi masyarakat lokal
secara luas. Kepada Timor Express edisi 28 Mar 2013, Kepala
Dinas Pertambangan NTT, Danny Suhadi, menyebutkan, PAD NTT dari sektor
pertambangan pada tahun 2012 sebesar Rp 400 juta. Semakin menggelikan
lagi karena target 2013 turun 50 persen menjadi hanya Rp 200 juta!
Produk unggulan kok targetnya menurun sampai 50 persen? Ini bukan bodoh
lagi, tapi tidak waras alias gila!
Sebaliknya Pemprov NTT menganaktirikan sektor pertanian (termasuk
peternakan) yang sejak lama menjadi andalan NTT (Tahun 2009-2011 sektor
pertanian menyumbang 37 % PAD, tertinggi disbanding sector lainnya) .
Tapi pertanian justru tak masuk unggulan. Misalnya sektor peternakan
yang sejak berpuluh tahun menjadi unggulan mampu mengekspor sapi potong
(sapi bali), kini semakin dilupakan. Akibatnya, NTT yang dahulu dikenal
sebagai gudang ternak, kini tinggal “gudangnya” saja.
Kayu cendana/hau meni (Santalum album) yang berbau
harum itu pernah berlimpah di Pulau Timor (TTS - TTU), kini baunya pun
nyaris tak ada. Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, konon banyak
pedagang dari Cina jauh-jauh datang ke Timor untuk membeli kayu berbau
harum itu.
Dahulu NTT adalah penghasil kunyit/kunir, kini tak ada kabarnya lagi.
Jeruk keprok SoE (lemon cina) hampir lenyap. Apel Soe sudah lama
lenyap. Banyak lagi komoditas yang pernah berjaya justru tak bersisa
ketika ada campur tangan pemerintah dengan aneka kebijakan aneh bin
ajaibnya.
Komodo! Ini binatang purba yang hanya ada di NTT (habitat asli).
Berarti sector pariwisata wajib digenjot dalam kecepatan tinggi.
Faktanya, NTT punya komodo tapi Bali dan NTB yang menikmati hasilnya
dari kunjungan turis asing. Orang NTB dan Bali dapat uangnya, orang NTT
cukup puas dapat nama kosong. Asal tahu saja, tahun ini (Agustus
2013) akan ada Sail Komodo. Tentu saja NTT tuan rumahnya. Melihat dari
persiapan yang ada, saya skeptis kegiatan tersebut akan berhasil,
apalagi memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat NTT.
Konsumerisme
Anehnya, ketika sebagian besar rakyatnya masih hidup di bawah garis
kemiskinan (NTT Provinsi termiskin nomor lima di Indonesia – lihat tabel
di akhir tulisan ini), pemerintahnya justru menggiring rakyatnya
sendiri masuk dalam jebakan konsumerisme.
Lihatlah betapa maraknya retailer besar (hypermarket) dan supermarket di
Kota Kupang saat ini. Mungkin banyak orang Kupang gembira ria dan
bangga dengan hadirnya “toko superbesar” nan megah dan modern itu.
Itu bagus untuk cuci mata, tapi terus terang, biasanya mereka lebih
banyak mengeruk uang kita daripada memberi sesuatu yang bermanfaat bagi
masyarakat secara luas. Penyerapan tenaga kerja lokal pun paling banyak
50 orang.
Itulah mengapa Joko Widodo (Jokowi) kala menjadi Wali Kota Surakarta
menolak memberi izin operasi bagi sejumlah supermarket/hypermarket dan
minimarket waralaba bermodal besar. Terbalik 180 derajat dengan elite
di NTT dengan dukungan pusat yang lebih suka rakyatnya dijajah.
Pertanyaannya, sudah merdeka kah rakyat NTT? (*)
10 PROVINSI TERMISKIN DI INDONESIA
No Propinsi Angka Kemiskinan (%)
1 Papua Barat 36,80
2 Papua 34,88
3 Maluku 27,74
4 Sulawesi Barat 23,19
5 Nusa Tenggara Timur 23,03
6 Nusa Tenggara Barat 21,55
7 Aceh 20,98
8 Bangka Belitung 18,94
9 Gorontalo 18,70
10 Sumatera Selatan 18,30
Sumber: Sensus Nasional BPS 2010