ad 1. Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM
(Universal Declaration on Human Rights)
yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana
hak penentuan nasib sendiri (
the right to self-determination) ditetapkan.
»
All peoples have the right of self-determination. By virtue of that
right they freely determine their political status and freely pursue
their economic, social and cultural development - Semua bangsa
memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas
menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan
ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1).
Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be
distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti
Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop
Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa
bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (
A state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis
the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu
external right to self-determination dan
internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib
sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah
ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua
Barat di luar negara Indonesia.
External right to self-determination,
or rather self-determination of nationalities, is the right of every
nation to build its own state or decide whether or not it will join
another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external
penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari
bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara
sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain,
sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat
dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua
New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan
gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak
penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki
daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu
kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan
sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan
budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta
dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya
dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya,
Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.
ad 2. Budaya
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa
atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia.
Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami
kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville,
Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku,
menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras
Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis,
Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya
menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan
nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang
Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika)
merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan
berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai
bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana
terdapat pada ad 1 di atas.
ad 3. Latarbelakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan
Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun
hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah
sebagai
berikut:
Pertama: Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah
mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh
kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap
kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah
lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih
terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana,
sebagai contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di
daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa
di Numbai. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat
tidak terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di
Indonesia ketika itu.
Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan
Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya,
gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an
aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis
komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan
Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu,
lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan
diri di luar penjajahan asing.
Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan
lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh
Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik
praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat: Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan
dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden
pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat
ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh
Ottis Simopiaref).
Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November
1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh
pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan
bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea
akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II
pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Keenam: Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah
pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national
»Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara
»Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh
New Guinea Raad /
NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara
demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah
Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh
seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah
United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah
perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek
ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional
dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah
Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan: Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di
Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB.
Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan
Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah
Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB
menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik
internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB
dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB
kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar
prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang
Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan: Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka,
sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak
menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian
Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan
dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah
negara RI (
Plunder in Paradise oleh
Anti-Slavery Society).
Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun
1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua
Barat ke dalam Indonesia (
Plunder in Paradise oleh
Anti-Slavery Society).
Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan
Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-
Demokratische Volkspartij,
Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari
PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom
(alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold
Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas
Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan
lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan
kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing
di Papua Barat.
ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang
terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut
tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat
memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di
samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang
adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek
kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat
dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin
luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3)
membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat
Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran
merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum
Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat
juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua
New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis
Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki
kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik.
Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di
dalam sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari
Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan
Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang
dikategorikan terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak
mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil
masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14
Desember 1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat
(Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi
aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14
Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun,
namun beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang.
Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996.
Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13
Maret). Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom
Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu
dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong
dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan
bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma bersama
beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil
menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar
karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah
massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding
gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat
menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan
asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan
kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat
telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa ini. Di samping
sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut
laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang
dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar
di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum
mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan,
penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan.
Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri.
Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di
dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun
kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »
We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).
Masa depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar,
New York Agreement yang mendasari
Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (
state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk
Roma Agreement,
silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref). Rakyat
Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di
dalam Pepera.
Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari
Act of Free Choice
(Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan
bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih.
Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan
HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana
rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia,
Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu.
Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu
berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir
orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998
membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika diadakan
suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan memilih
untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari
hal ini.
Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang
Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI
dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia
telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman,
Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf
atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun
1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa
Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku
jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel.
Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian
maaf untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri
luarnegerinya, Madeleine Albright. "Amerika Serikat menyesalkan
»kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika
Latin selama perang dingin", kata Albright. AS ketika itu mendukung para
diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana
terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia
akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan memohon
maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para
penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia
di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili,
sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan
diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili.
Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan
kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan
digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal
di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap
beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara,
Palestina dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara
yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember
1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina,
tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa
daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh Israel.
Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika
Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front
Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih
berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario (International Herald
Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara,
Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak
mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda
dari penjajah yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang
menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang untuk
membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat
membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini
merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang
sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum
di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka di luar Indonesia.
Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan
kadang-kadang meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah
akan berhenti atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor
(hak, budaya dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan
keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat
akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik
dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk
menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan
akan dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak,
yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan
ABRI tidak akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah
jajahan. Mereka akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Mereka akan meneriakkan pekikan Martin Luther King, pejuang penghapusan
perbedaan warna kulit di Amerka Serikat, "Lemparkan kami ke penjara,
kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah
anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat Papua Barat mempunyai
sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita
akan menang suatu ketika«.
Tulisan di atas dipetik dari
diktat berjudul Karkara karangan Ottis Simopiaref. Ottis Simopiaref
lahir tahun 1953 di Biak, Papua Barat dan sedang berdomisi di Belanda
sejak 14 Maret 1984 setelah bersama tiga temannya lari dan meminta suaka
politik di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta tanggal 28 Februari 1984.