Berisi Dokumen Sensitif, Khawatir Indonesia Marah
SYDNEY - Ketegangan hubungan antara Indonesia dengan
Australia membuat pemerintahan di Negeri Kanguru itu kian hati-hati.
Pemerintah Australia bahkan telah memblokir arsip rahasia tentang aksi
kejahatan militer Indonesia di Timor Leste.
Seperti dilansir The Age hari
ini, Administrative Appeals Tribunal (AAT) Australia menegaskan bahwa
Arsip Nasional memiliki hak untuk menolak permintaan guru besar di
Universitas New South Wales, Profesor Clinton Fernandes untuk mengakses
dokumen diplomatik dan intelijen tentang operasi militer Indonesia di
Timor Leste 32 tahun silam. AAT merupakan lembaga resmi yang berwenang
meninjau keputusan pemerintah dan beberapa putusan pengadilan di
Australia.
Sedangkan Profesor Fernandes merupakan mantan perwira di intelijen
militer yang banting setir menjadi akademisi. Dia telah berjuang selama
enam tahun melalui jalur hukum dan birokrasi untuk mendapatkan berbagai
dokumen yang berhubungan dengan invasi dan pendudukan Indonesia di Timor
Leste.
Sementara Arsip Nasional berdasarkan saran dari departemen luar
negeri maupun petinggi di lembaga intelijen di Australia telah menolak
permintaan Profesor Fernandes untuk bisa mengakses data yang berisi
berbagai laporan mengenai aksi besar-besaran militer Indonesia pada
penghujung 1981 dan awal 1982. Operasi militer oleh ABRI itu disebut
melibatkan warga sipil Timor Timur (saat masih menjadi provinsi bagian
Indonesia, red) sebagai tameng manusia yang berakhir pada pembantaian
besar-besaran hingga ratusan jiwa melayang.
Namun menurut komisioner bidang hukum di AAT, Duncan Kerr, jika
permintaan Fernandes itu sampai disetujui maka akan merusak hubungan
internasional, pertahanan dan keamanan Australia. Alasannya, dokumen itu
masih terlalu sensitif.
Sebelumnya, pada Januari lalu Jaksa Agung Australia mengeluarkan
sertifikat kepentingan publik yang mencegah pengungkapan alasan
pemerintah untuk terus menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen tertentu.
Namun, sertifikat itu membuat pengecualian untuk Profesor Fernandes.
Sementara AAT dalam keputusannya tetap merahasiakan dua bagian dari
laporan intelijen yang diminta Profesor Fernandes.
Meski demikian Fernandes menyatakan bahwa dirinya akan terus
melanjutkan upaya membuka dokumen-dokumen rahasia menyangkut aksi
militer Indonesia di Timor Timur. Alasannya, kejatahan kemanusiaan tak
bisa ditutup-tutupi.
“Kita tidak boleh menutupi kejahatan besar terhadap warga Timor
Timur, biarawati dan pastor mereka lebih dari 30 tahun setelah
peristiwa-peristiwa itu terjadi,” katanya. “ Saya akan terus menempuh
jalur hukum, menang atau kalah. 15 tahun di Angkatan Darat melatih saya
menjadi tangguh,” pungkasnya.(ara/jpnn)