GEMPAR TOLAK RUU PLUS KARENA INKONSTITUSIONAL
Mahasiswa Uncen melakukan pemalangan di kampus menolak pembahasaran RUU Otsus Plus (Foto: Ist) |
PAPUAN,
Jayapura --- Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (GempaR) menilai,
draf Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua,
yang kini sedang dibahas di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) Inkonstitusional, karena telah mengabaikan aspirasi
mahasiswa dan masyarakat adat di tanah
“Saat MRP gelar evaluasi
Otsus versi orang asli Papua tanggal 24-26 Juli 2014, sudah jelas
rekomendasinya, bahwa UU Otsus tidak perlu diamandemen, atau dirubah
lagi sampai ada dialog antara Indonesia dan Papua dimediasi pihak ketiga
yang netral,” kata Samuel Womsiwor, salah satu aktivis GempaR, dalam
siaran pers yang dikirim kepada suarapapua.com, Rabu (20/9/2014) sore.
Menurut Samuel, dua
rekomendasi yang dibuat perwakilan masyarakat adat Papua dari tujuh
wilayah adat adalah, pertama, pemerintah pusat diminta membuka ruang
untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi
oleh pihak ketiga netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula.
Dan rekomendasi kedua
adalah, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog
Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi.
“Jadi tidak ada
rekomendasi dari rakyat Papua untuk adanya RUU Otsus Plus, kalau
Gubernur Lukas Enembe, Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, dan Ketua MRP
TImotius Murib bilang rakyat yang usulkan atau rakyat yang minta, kami
mahasiswa mau tanya, rakyat yang mana, dan kapan ada rakyat Papua protes
atau demo minta RUU Otsus Plus disahkan, jangan membohongi,” tegasnya.
Lanjut Samuel,
pembahasan RUU Otsus Plus sejak awal juga tidak mengacu pada Pasal 77
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang
mengamanatkan bahwa perubahan UU Otsus harus lahir dari usulan rakyat
Papua, bukan pemerintah pusat atau pemerintah provinsi.
“Kami juga meminta
supaya Ketua MRP tidak terus mengatasnamakan rakyat Papua, apalagi ada
yang ancam-ancam Jakarta dengan kata Papua Merdeka, buka lambang Garuda,
bahkan kembalikan merah putih, hentikan cara-cara yang justru membodohi
diri sendiri, dan buat rakyat Papua tertawa kalian,” pinta Samuel yang
juga mahasiswa Fisip Universitas Cenderawasih.
Donatus Pombai, aktivis
GempaR dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Umel Mandiri
Jayapura mengatakan, di tanah Papua terdapat dua ideologi yang berbeda,
yakni, ideologi Papua Merdeka dan Ideologi Indonesia Merdeka, karena itu
sangat tidak pantas seorang pejabat Negara yang notabene digaji oleh
negara ancam-ancam Jakarta dengan kata Papua Merdeka.
“Kalau Goliat Tabuni,
Enden Wanimbo, Purom Wenda, Benny Wenda, dan aktivis pro-kemerdekaan
lainnya yang bicara Papua ingin merdeka dan bebas wajar dari Indonesia
itu wajar-wajar saja, tapi bagaimana kalau Gubernur Enembe yang bicara,
apalagi hanya untuk kasi lolos RUU Otsus Plus, ini sangat memalukan,”
tegas Donatus.
Lanjut Donatus,
mahasiswa juga mendesak pemerintah provinsi Papua, DPRP, dan MRP untuk
melihat kembali hasil keputusan Musyawarah Besar MRP, yang mana pernah
menyatakan Otsus telah gagal total, dan diperlukan evaluasi menyeluruh,
bukan justru melahirkan RUU Otsus Plus yang tidak jelas arah dan
tujuanya.
“Kami juga minta MRP
kembali pada tupoksinya sesuai amanat UU Otsus 2001, yakni bicara soal
masyarakat adat, tanah adat, hutan, perlndungan terhadap identitas dan
budaya Papua, bukan jalan bicara dukung RUU Otsus Plus yang tidak jelas
arahnya,” tegas Donatus.
Satu langkah kongkrit
yang diperlukan rakyat Papua sebelum DPR-RI mengesahkan draf RUU Otsus
Plus, menurut Donatus, perlu digelar referendum terhadap RUU Otsus Plus,
yakni, kembali bertanya kepada mahasiswa dan rakyat di tanah Papua,
apakah menghendaki adanya RUU Otsus Plus, atau tidak diperlukannya.
“Kami sudah membaca
secara detil draf keempat belas RUU Otsus Plus yang berisi 369 Pasal,
semua tidak masuk akal karena perluas kewenangan eksekutif dan
legislative yang berlebihan dan gila-gilaan, sedangkan pasal-pasal
proteksi terhadap masyarakat adat sangat lemah, dan tidak ada.”
“Logikanya, UU Otsus
yang hanya 79 Pasal sudah dianggap gagal total, implementasinya kacau
balau, dan sudah berulang kali dikembalikan ke pusat, sekarang berjuang
loloskan RUU Otsus Plus yang di dalamnya ada 369 Pasal atau lima kali
lipat dari pasal-pasal dalam UU Otsus, apakah pemerintah Papua mampu
menjalankannya, kami sangat pesimis,” ujarnya lagi.
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : www.suarapapua.com