Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Melawan Lupa; Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay Oleh Kopassus Bermotif Politik (Bagian I)
Oleh : Admin
Theys Eluay ketika bertemu dengan Presiden RI, Gus Dur didampingi putrinya Yenny Wahid (Foto: Ist)
Pada 10 November 2001, tepatnya 13 tahun yang
lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan
tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9, Koya, Muara Tami, Jayapura.
Belakangan diketahui, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) telah menculik
dan membunuhnya. Dibawah ini laporan lengkap yang disusun Elsham Papua.
Oleh: Elsham Papua*
Pengantar
Penculikan dan pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay (64), Ketua Presidium
Dewan Papua (PDP), merupakan salah satu implikasi dari budaya
militerisme dan kekebalan hukum (impunity) sejak Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat, red) dianeksasi oleh Indonesia.
Kekerasan ini berawal semenjak Soekarno, presiden pertama Republik
Indonesia mendeklarasikan Trikora, pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Isi Trikora, pertama bubarkan "Negara Boneka" Irian Barat buatan Belanda; kedua, mobilisasi massa; dan ketiga, kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat.
Ketika itu, banyak rakyat sipil Papua Barat diintimidasi dan dibunuh.
Sejak integrasi dengan Indonesia, pemerintah Jakarta mulai menerapkan
pendekatan militer dengan melakukan operasi militer di berbagai wilayah
di tanah Papua. Kurang lebih 100.000 rakyat Papua Barat di bunuh selama
38 tahun integrasi dengan Indonesia.
Proses penghancuran ini semakin meningkat terutama ketika rakyat
Papua Barat menuntut memisahkan diri dari Indonesia sejak reformasi
1998, dengan jatuhnya Presiden otoriter Soeharto.
Berbagai aksi damai menuntut merdeka dihadapi dengan kekerasan,
seperti peristiwa Biak berdarah, 6 Juli 1998; Sorong, 5 Juli 1999;
Timika, 2 Desember 1999; Merauke, 16 Februari 2000; Nabire, 28 Februari
sampai Maret 2000; Sorong, 27 Juli 2000 dan 22 Agustus 2000; Wamena, 6
Oktober 2000.
Aspirasi merdeka terus bergulir dan terungkap secara jelas dan resmi
dihadapan Presiden B.J. Habibie di Istana merdeka tanggal 26 Februari
1999 oleh wakil-wakil masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim 100.
Tuntutan itu begitu mengejutkan, sehingga dijawab dengan permintaan
untuk merenungkan tuntutan itu lebih dalam.
Bersamaan dengan itu, operasi rahasia terus ditingkatkan untuk
meredam para aktivis Papua Barat, menjelang Kongres Rakyat Papua II
2000, yang berlangsung dari tanggal 29 Mei-4 Juni 2000.
Seminggu sebelum Kogres Rakyat Papua II 2000, Wakil Presiden Megawati mengadakan kunjungan tiba-tiba ke Papua.
Kunjungan Megawati ini disambut dengan aksi demonstrasi oleh para
aktivis pro merdeka di seluruh tanah Papua. "Kesan kuat” tentang
keinginan merdeka rakyat Papua Barat di berbagai tempat yang dikunjungi
menjadi laporan penting bagi Megawati.
Hasil kunjungan Megawati (Wapres) disampaikan kepada Muspida Provinsi
Tingkat I Papua di Jayapura. Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian (assessment)
Megawati menjadi laporan Gubernur (Caretaker), Musiran Darmosuwito,
(mantan wakil Gubernur Timor Timur) melalui radiogram ke Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) tertanggal 2 Juni 2000.
Terutama, sejak mengkristalnya aspirasi Papua Merdeka pasca Kongres
Papua II 2000. Ini bisa dilihat dari bocoran dokumen sangat rahasia yang
telah dikeluarkan oleh Dirjen KESBANG dan LINMAS DEPDAGRI dalam nota
dinas nomor 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000.
Bocoran dokumen tersebut berisi konsep tentang "Rencana Operasi
Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan jaringan Komunikasi Dalam
menyikapi arah politik Irian Jaya (Papua) untuk merdeka dan melepaskan
diri dari Negara Republik Indonesia".
Sasaran operasi meliputi, (1) pengkondisian wilayah kabupaten dan
kota di Papua sampai di daerah terpencil; (2) pengembangan jaringan
komunikasi dengan memanfaatkan tokoh-tokoh berpengaruh dan organisasi
yang mendukung dengan kegiatan seperti membuat statement, apel akbar,
dan lainnya; (3) sasaran diplomasi untuk memperoleh dukungan PBB dan
negara kuat lainnya bagi kedaulatan Indonesia atas wilayah Papua.
Sedangkan metode operasi yang dikembangkan adalah, (1) klandestein
(penyusupan); (2) provokasi, penangkapan aktivis politik Papua Merdeka;
(3) kegiatan pembangunan; (4) program Papuanisasi dan mencegah
internasionalisasi masalah Papua.
Sifat operasi adalah terbuka. Artinya, penyerangan langsung terhadap
demonstrasi massa, dan tertutup (klandestein). Operasi ini selanjutnya
di dukung oleh MPR dalam sidang tahunan pada Agustus 2000, dengan
ketetapan bagi Papua sebagai wilayah perlu perhatian serius.
Dalam dokumen sangat rahasia itu, nama Theys Eluay berada dalam faksi
adat dan pejuang. Dia satu tingkat dengan Tom Beanal (Adat), dan Yusuf
Tanawani (sudah meninggal), Pdt. Herman Awom dan Dr. Karel Phil Erari
(tokoh Gereja); Dr. Benny Giay dan Agus Alua (Akademisi), Drs. Jakobus
Pervidya Salossa (Politisi, Gubernur Papua saat laporan ini diterbitkan,
dan sudah meninggal), Simon P. Morin (Politisi), John Rumbiak dan
Yohanis Bonay (ELS-HAM Papua); Gerson Abrauw dan Diaz Giwijangge (elemen
mahasiswa); Beatrix Koibur dan Ketty Yabansabra (elemen perempuan).
Menurut Kantor Berita Reuters (30/11/2000), setelah konfirmasi dengan
pihak DEPDAGRI mengakui adanya rapat untuk mengatasi gejolak yang oleh
Jakarta disebut separatisme di Papua yang dihadiri oleh 13 instansi
pemerintah di tingkat nasional.
Pihak Kepolisian Papua (Irian Jaya) menterjemahkan Rencana Operasi
itu dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya Polda Irian Jaya (Papua)
Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada
bulan November 2000.
Telaahan staf ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun
operasi yang disebut "Operasi Sadar Matoa 2000" yang berlangsung 90
hari. Operasi ini ditunjukan kepada gerakan aktivis Papua Merdeka atau
OPM dan simpatisannya.
Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polisi Daerah (Polda)
Papua telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang
sistimatis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut sebagai
gerakan separatis.
Kebijakan Kepolisian itu merupakan bagian dari kebijakan negara
secara keseluruhan. Dua dokumen ini menunjukkan adanya unsur sistematis,
yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang
berulang. (BERSAMBUNG)
*Laporan ini dibuat oleh Elsham Papua, dan diterbitkan pada 13
Desember 2001. Judul aslinya "Laporan Awal Penculikan dan Pembunuhan
Theys Hiyo Eluay Terencana dan Bermotif Politik". Laporan ini diedit
ulang oleh Oktovianus Pogau. Untuk mengetahui lebih jauh lembaga Elsham
Papua silakan kunjungi website lembaga ini "Elsham Papua"