GUS DUR GURU PAPUA

Pada 1 Januari 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama
Papua untuk mengganti nama Irian Jaya. Perubahan dari Irian ke Papua
tentu bukan sekadar perubahan nama. Di balik itu ada pengakuan terhadap
martabat dan identitas Papua, sehingga langkah berikutnya adalah dialog
yang konstruktif. Namun apa yang terjadi setelah Gus Dur tak menjabat
presiden, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono kembali
menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah Papua.
Langkah yang ditempuh Gus Dur menggunakan pendekatan kultural dan
kemanusiaan ditinggalkan.
Itulah benang merah dari Diskusi Buku “Gus Dur Guru dan Masa Depan
Papua: Hidup Damai lewat Dialog” di kampus STPMD “APMD” Yogyakarta.
Tampil sebagai pembicara Titus Pekei (penulis buku), Alissa Wahid (putri
Gus Dur), dan Tri Agus Susanto (dosen prodi Ilmu Komunikasi). Kegiatan
ini merupakan kerjasama Prodi Ilmu Komunikasi, Gusdurian, Radio Buku,
Barisan Mahasiswa Kaiman, dan Ikatan Mahasiswa Komunikasi “APMD”.
Menurut Titus Pekei, masyarakat Papua menganggap Gus Dur adalah guru
bagi seluruh Tanah Papua. Dampak dari pengembalian nama Papua adalah
pengakuan terhadap keragaman adat dan budaya di Papua. Gus Dur juga
memfasilitasi Kongres Nasional Papua II yang berlangsung pada 30 Mei
hingga 4 Juni 2000, dihadiri 3000 orang, didengar oleh ratusan ribu
orang melalui radio. Rekomendasi dari Kongres Nasional Papua II
diberikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Meski Gus Dur menolak
tuntutan kemerdekaan yang dihasilkan kongres, namun fasilitator kongres,
Willy Mandowen, mengakui komitmen Gus Dur untuk mendekati rakyat Papua
dengan cara kemanusiaan adalah jalan terbaik.
Pekei menambahkan, pada 22 Oktober 2001 Presiden Megawati
melegitimasi UU Otonomi Khusus Papua. Melalui Otsus triliunan rupiah
uang mengalir ke Papua, namun rakyat tetap miskin dan terpinggirkan.
Terjadi banyak penyimpangan Otsus namun Jakarta diam saja. Masa
pemerintahan Megawati juga ditandai dengan kegagalan menjaga keamanan di
Papua. Pemerintahan Susio Bambang Yudhoyono mengeluarkan PP No. 77
Tahun 2007, melarang pengunaan atribut daerah yaitu bendera Bintang
Kejora, simbol Burung Mambruk, dan lagu Hai Tanahku Papua. Upaya
perdamaian dan dialog Jakarta-Papua hingga kini belum menemui titik
terang.
Alissa Wahid menyambut terbitnya buku “Gus Dur Guru dan Masa Depan
Papua, Hidup Damai lewat Dialog”. Menurut putri sulung Gus Dur ini, Gus
Dur tak perlu di puja-puja, termasuk rencana pembangunan patung di
Jayapura, yang penting adalah siapa sekarang yang bisa meneruskan
cita-cita Gus Dur tentang Papua yang damai. Menurut Alissa, penulisan
buku ini tidak semata ingin memberikan ingatan pembaca terhadap sosok
Gus Dur yang dekat dan selalu berpihak kepada masyarakat Papua, tetapi
juga ungkapan kerinduan penulis yang mewakili masyarakat Papua terhadap
keberpihakan, pendekatan kemanusiaan dan penegakan keadilan yang pernah
dirintis Gus Dur dalam menyapa masyarakat Papua.
Tri Agus Susanto menilai Gus Dur telah berhasil mengubah komunikasi
politik yang gagal dilakukan Soekarno, Soeharto dan Habibie terhadap
Papua. Komunikasi politik Gus Dur adalah dengan pendekatan baru yang
humanis dan bermartabat. Namun sayang kebijakan Abdurrahman Wahid yang
memihak mereka yang termarjinalkan tak dilanjutkan presiden setelah Gus
Dur.
Tri Agus mengharapkan Titus Pekei dapat menularkan virus kepada kita
untuk menulis buku. Hal ini sejalan dengan Gus Dur yang semasa hidupnya
tak bisa dipisahkan dengan buku. Sejak SD hingga menjelang wafat, Gus
Dur telah membaca ribuan buku dari berbagai bidang, dari kitab kuning
buku wajib di pesantren, sastra, politik, filsafat dan lain-lain. Gus
Dur juga menulis puluhan buku dan menginspirasi banyak penulis, peneliti
serta para mahasiswa untuk menulis skripsi dan tesis tentang Gus Dur.
Gus Dur juga menulis sekitar 40 kata pengantar untuk buku orang lain
dari berbagai kajian, yang telah dibukukan dengan judul “Sekadar
Mendahului”. Pendek kata Gus Dur adalah buku yang tak ada habisnya kita
baca.
Yogyakarta, 4 Maret 2013
Sekprodi IK