- SIAPA YANG UNTUNG DAN SIAPA YANG BUNTUNG
Tambang Nikel di Raja Ampat Papua |
Kasus exploitasi tambang nickel di Raja Ampat, yang menimbulkan
konflik kewenangan antara bupati dengan gubernur, bupati dengan elit
politik yang juga tuan tanah di Raja Ampat, termasuk konflik antara
TNI-AL dan Polisi, yang kemudian menimbulkan konflik antar
kelompok-kelompok masyarakat di tingkat kampung yang masing-masing
mengklaim tanah di areal tambang sebagai miliknya, akhirnya menempuh
proses yang sama seperti di dalam penanganan illegal logging 3 tahun
lalu. Ketika persoalannya melibatkan penguasa-penguasa politik baik di
tingkat daerah maupun pusat, yang diduga membangun konspirasi dengan
pihak swasta untuk kepentingan-kepentingan lain, maka tentu persoalannya
akan selalu ditarik ke pusat. Kalau sudah sampai di tingkat ini,
biasanya substansi masalah akan bergeser ke soal politik : ‘Siapa
melindungi siapa untuk kepentingan apa ?’
Pada masa-masa awal pemerintahan kabupaten pemekaran Raja Ampat
berbagai diskusi, seminar, loka karya yang melibatkan LSM lokal dan
international, organisasi masyarakat sipil, lembaga adat dan pihak
pemerintah telah dilakukan untuk memikirkan dan merumuskan ber-sama-sama
gagasan-gagasan pembangunan Raja Ampat ke depan dengan mempertimbangkan
aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam. Dari sinilah
muncul gagasan untuk men-deklarasikan Kabupaten Raja Ampat sebagai
Kabupaten Bahari. Konsep tersebut bisa saja difahami sebagai: “laut
adalah sebagai sumber kehidupan”, baik sebagai basis produksi untuk
mendukung proses pembangunan daerah dan upaya-upaya peningkatan taraf
hidup masyarakat maupun sebagai visi ke depan untuk membangun uatu
peradaban hidup yang menjamin ke-serasian hubungan antara manusia dengan
alam sekitarnya sebagai satu keutuhan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini
setiap sub-sistem baik di daerah maupun laut tidak bisa dipandang dan
diper-lakukan berbeda dari sub-sistem lainnya, karena gangguan pada satu
sub-sistem akan berdampak luas pada sub-sub sistem lainnya.
Sebagai realisasi dari visi Kabupaten Bahari itu, maka pemda telah
menetapkan sektor pariwisata (ekoturisme) dan kelautan dan perikanan
sebagai andalan utama untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, selain
sektor-sektor lainnya yang bersandar pada sumber pembiayaan pemerintah.
Pertimbangannya didasarkan pada hasil kajian-kajian ilmiah yang telah
dilakukan oleh CI dan TNC bahwa ternyata daerah ini memiliki kekayaan
aneka ragam biota laut tertinggi di dunia. Karena itu dijuluki sebagai
‘jantung dari segitiga karang dunia’ (world coral triangle) yang
terbentang dari Kepulauan-kepulauan di Pacific, PNG, Australia,
Indonesia, Malaysia dan Philippine. Gugusan kepulauan Raja Ampat
terletak persis di tengan kawasan ini.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana rencana dan konsep
pembangunan tata ruang yang terpadu (integrated) antar sektor dan
sinkronisasi tujuan-tujuan pembangunan dalam skala micro dan macro;
keterpaduan program pada level basis (kebutuhan dasar masyarakat),
kepentingan kabupaten, propinsi dan nasional. Dengan begitu semua pihak
akan mengacu pada satu blue print rencana tata ruang yang realistic,
dapat dilaksananakan oleh sumberdaya manusia yang dimiliki daerah, dan
yang penting menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam bagi
generasi berikut dan tidak menimbulkan masalah yang kompleks.
Perkembangan Inverstasi SDA di Raja Ampat Saat ini. Sesuai data resmi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Raja Ampat, sudah
ada 16 perusahaan tambang nickel yang diberi ijin beroperasi di Raja
Ampat. Yang sementara beoperasi dan mengeksport material pasir logam
adalah PT. ASP, PT. ASI dan PT. KMS. Negara tujuan eksport adalah China
dan Australia. China menerima material pasir logam besi (lemonite) dan
Australia pasir logal nickel (laterite). Perusahaan pembeli pasir logam
tersebut dari Australia adalah QNI (Queensland Nickel International),
anak perusahaan BHP Biliton yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh
salah satu perusahaan tambang raksasa dunia, Group Rio Tinto yang
berpusat di London dan membuka cabangnya di Melbourne, Australia.
Sementara dari China belum diperoleh informasi tentang nama perusahaan
pembelinya.
Menurut data-data terpercaya yang diperoleh dari kota pelabuhan
Townsvile di Queensland, pelabuhan bongkar muatan material tambang dari
Indonesia, QNI mulai awal tahun 2007 – 2008 sudah 20 kali membongkar
muatan pasir nickel yang diduga dari Raja Ampat (tidak disebut pelabuhan
pemuatan, tapi dari negara Indonesia). Total tonase yang dibongkar
adalah 913,072,23 ton (dalam bentuk pasir logam). Sementara data yang
dikemukakan oleh salah seorang wakil DPRD Raja Ampat (Radar Sorong, 8
Maret 2008), tercatat 12 kali pemuatan material pasir logal dari Raja
Ampat dengan total tonase 611,828 ton, masing-masing 8 kali ke
Queensland Australia dan 4 kali ke China.
Permasalahan yang timbul:
1. Konflik kewenangan (hukum) antara bupati dan gubernur
2. Konflik antara Bupati dengan rival politiknya, yang juga bergerak
sebagai pengusaha tambang dan mengkalim diri pemilik tanah adat di Kawe.
3. Konflik antar kelompok masyarakat dan antar kampung yang sudah terkooptasi ke dalam dua kubu tersebut.
4. Profile masing-masing perusahaan belum diketahui jelas, apakah
perusahaan yang bonafide atau tidak, sebagai pemilik modal utama atau
hanya mendompleng nama pe-milik yang sesungguhnya, memiliki spesifikasi
usaha tambang atau tidak, atau hanya se-bagai broker/cukong. Mengapa
perusahaan-perusahaan ini begitu musah mendapat ijin, sedangkan BHP
Biliton di Gag yang merupakan perusahaan terkenal di dunia, sudah masuk
beberapa tahun lalu tapi hingga kini terkesan masih dihambat
pengoperasiannya oleh pemerintah. Ketahuan bahwa beberapa perusahaan
menempuh jalur by pass, kong kali kong dengan pejabat daerah, termasuk
merekayasa permintaan masyarakat adat untuk memasukkan investor ke
daerahnya agar menjamin perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
5. Prusedur AMDAL/Sosial yang telah dilakukan oleh perusahaan, dengan
menggunakan konsultan yang bekerjasama dengan UNIPA Manokwari perlu
dicek sesuai prosedur yang telah di atur di dalam UU LH dan UU tentang
AMDAL.
6. Dari sekian banyak perusahaan yang telah diberi ijin beroperasi, baru
BHP Biliton yang telah melakukan sosialisasi CSR (Corporate Social
Responsibility) sesuai UU tentang Penanaman Modal Asing. Sedangkan
perusahaan lain belum sama sekali melakukan sosialisasi tentang rencana
CSR, yang seharusnya dilakukan setelah AMDAL-nya dibahas, disetujui dan
disahkan oleh pemerintah bersama-sama DPR.
7. Beberapa pihak mulai masuk dengan dalih membela kepentingan
masyarakat adat dan menyelamatkan kerugian negara. Antara lain Nusantara
Corruption Watch (NCW) di Jakarta mensinyalir PT. ASP telah merugikan
negara dan mengabaikan hak-hak masya-rakat adat sekitar 500 milyard.
Karena itu NCW minta kepada Komisi VII DPR-RI untuk mendesak KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) harus mengusut dugaan korupsi dalam kasus ini.
Sementara Tim Ikadin (Ikatan Advokad Indonesia) cabang Sorong bertindak
sebagai penguasa hukum masyarakat adat di kampung Kapadiri, marga
pemilik tanah adat di pulau Manuran, menuntut PT. ASP harus memenuhi
kewajibannya membayar hak-hak masyarakat adat yang telah dijanjikan
sejak awal pengoperasiannya.
Sementara perhatian lebih besar tertuju pada komplexitas masalah
seputar aktivitas tambang nickel, sama sekali tidak terdengar sedikit
pun suara dari eksekutif dan legeslatif baik di Raja Ampat maupun
Propinsi Papua Barat tentang investasi sumber daya laut mutiara yang
sedang menjamur di Raja Ampat saat ini. Dua perusahaan mutiara terbesar
seperti PT. Yelu Mutiara di Misool Tenggara dan PT. Cendana Indopearl di
Waigeo Barat, yang sudah beroperasi lebih dari 10 tahun, ditambah lagi
beberapa perusahaan yang mulai membuka lahan budi daya di pulau Batanta,
Waigeo Selatan dan Salawati. Perusahaan-perusahaan tersebut mengolah
beribu-ribu bahkan berjuta butir mutiara termasuk kulitnya untuk
dieksport dengan nilai ekonomi yang sungguh menakjubkan. Tidak pernah
dilaporkan, karena itu tidak diketahui sesungguhnya berapa besar rente
(keuntungan) ekonomi yang telah diperoleh perusahaan-perusahaan ini dan
berapa persen yang harus dibagi ke pemerintah daerah sesuai ketentuan
yang berlaku.
Padahal, Kabupaten Raja Ampat adalah Kabupaten Bahari yang seyogianya
menata kembali regulasi yang mengatur tentang usaha-usaha pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya laut untuk menyumbang bagi pendapatan
daerah. Katakanlah, satu perusahaan sekali mengexport sekitar 250,000
butir mutiara saja (belum termasuk kulitnya untuk perhiasan dan
kosmetik), dengan harga jual di pasar internasional sekitar Rp.
5,000,000 (lima juta rupiah) per butir saja, tinggal dikalikan dengan
250,000 = Rp. 1,250,000,000,000 (1,25 trilyun). Kalau pemerintah daerah
bisa menarik paling sedikit 10 % saja dan 5 % untuk provinsi, berarti
pemda Raja Ampat akan memperoleh Rp. 125,000,000,000 (125 milyard
rupiah), dan provinsi Papua Barat Rp. 62,500,000,000 (62 milyard
rupiah). Itu baru dari satu perusahaan, belum termasuk penarikan dari
beberapa perusahaan lainnya.
Selain itu, sektor pariwisata yang digembar-gemborkan oleh pemda Raja
Ampat sebagai primadona, setelah dikelolah baik oleh satu tim sejak
Agustus tahun lalu masukan yang diperoleh selama 8 bulan sudah mencapai
hampir 1 milyard rupiah. Sementara target pencapaian Dinas Parawisata
untuk tahun 2007 adalah sebesar Rp. 70,000,000. Pertanyaannya adalah
mengapa pemda tidak memberi perhatian serius pada sektor-sektor yang
secara nyata memberi keuntungan ekonomi begitu besar, dan dari segi
lingkungan justru melindungi sumberdaya alam yang ada sebagai sumber
utama investasi.
Melihat perkembangan masalah seputar aktivitas pertambangan yang
sedang berlangsung di Raja Ampat saat ini, baik dari segi hukum,
politik, ekonomi maupun sosial antar komunitas adat kami dari jaringan
LSM Kepala Burung berpendapat:
1. Selama masih ada ketidak-pastian hukum, terutama konflik
kewenangan antara pusat dan daerah, antara propinsi dan kabupaten, maka
segala praktek eksploitasi sumber daya alam baik yang berdampak langsung
pada perubahan ekosistem lingkungan hidup maupun yang mengabaikan
hak-hak hidup masyarakat adat, tidak akan pernah diselesaikan secara
tuntas. Dalam kondisi demikian baik pemerintah daerah maupun masyarakat
adat tidak akan mendapat keuntungan apa-apa, dan hanya menanggung derita
akibat kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan dan
perpecahan-perpecahan sosial yang ditinggalkan-nya.
2. Konflik kewenangan antar pejabat-pejabat di daerah sesungguhnya tidak
terlepas dari kepentingan-kepentingan politik di pusat (Jakarta), baik
atas nama NKRI maupun demi kepentingan kelompok-kelompok kekuasaan.
3. Kedua hal tersebut di atas membawa dampak pada terporak-porandanya
tatanan ke-hidupan masyarakat basis, dan tidak ada perhatian untuk
melihat dampak aktivitas per-tambangan terhadap perubahan lingkungan
yang mulai dirasakan masyarakat.
4. Tambang mineral maupun batuan adalah jenis sumber daya alam yang
tidak bisa diper-baharui. Sekali habis dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia, seketika pula hilang dari muka bumi. Karena itu proses
pemanfaatannya harus dilakukan secara cermat dan sangat hati-hati.
Perubahan yang akan terjadi adalah hilangnya pulau, terumbu karang
tempat berkembang biaknya biota-biota laut, sumber protein tertinggi
bagi manusia akan tertutup oleh endapan lumpur hasil pengerukan pasir
tambang. Sumber-sumber air juga akan ter-cemar. Masyarakat akan sulit
memperoleh ikan dan sumber air yang bersih, ketika per-usahaan
meninggalkan lokasi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi
masalah-masalah yang timbul dari generasi ke generasi akibat kerusakan
lingkungan tidak akan pernah tertutup oleh keuntungan ekonomi yang
diperoleh dari perusahaan.
5. Konsep Kabupaten Bahari bagi Kabupaten Raja Ampat, dalam situasi saat
ini ke-nyataanya tidak bermakna apa-apa. Pemerintah lebih berorientasi
ke darat dengan mendorong investasi-investasi yang lebih bersifat
ekstraktif (merusak/merubah sistem lingkungan).
Berdasarkan latar belakang pemikiran-pemikiran tersebut di atas kami
menuntut Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan dalam usaha tambang di Raja Ampat segera:
1. hentikan semua aktivitas pertambangan yang telah menimbulkan
konflik yang begitu kompleks, dan semua pejabat baik di tingkat
kabupaten maupun propinsi masing-masing hendaknya melepaskan keangkuhan
kekuasaannya lalu duduk bersama sebagai orang Papua untuk menata kembali
semua regulasi tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
yang ada secara arif dan bijaksana bagi kepentingan semua pihak tanpa
mengabaikan hak-hak dasar masyarakat setempat.
2. meninjau kembali konsep Kabupaten Raja Ampat sebagai Kabupaten
Bahari, lalu memberi prioritas pengembangan pada sektor kelautan dan
perikanan dan parawisata (ekowisata) yang secara nyata memberi manfaat
langsung kepada masyarakat dan menjamin kelestarian lingkungan hidup.
3. meninjau kembali ijin operasi perusahaan-perusahaan mutiara, yang
ternyata sangat berguna untuk perlindungan sumber daya laut dan memberi
keuntungan ekonomi yang sangat besar. Terutama menyangkut regulasi
tentang pembagian keuntungannya dan pemanfaatan tenaga kerja lokal agar
bisa menyumbang untuk pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
4. segera melakukan rekonsiliasi baik antara para elit politik maupun
antara kelompok masyarakat adat, termasuk kelompok-kelompok lain yang
berkepentingan untuk meng-hindari perluasan masalah ke soal politik yang
akan berdampak pada pengorbanan masyarakat Papua di Raja Ampat.
Demikian tuntutan dan pernyataan kami, kiranya diperhatikan dan
dilaksanakan demi masa depan kehidupan Manusia di atas Tanah Papua.
Sorong, 05 April 2008
Ronny Dimara
Kordinator Foker LSM Regio Kepala Burung Papua
Partisipan dan Pendukung:
1. Yayasan Sosial Peduli Masyarakat Papua (YSPMP) Sorong
2. Perkumpulan Belantara Papua
3. Perkumpulan Triton Papua
4. Yayasan Nasaret Papua (YNP)
5. Yayasan Penyu Papua (YPP)
6. Yayasan Nanimi Wabili Su (YNWS)
7. Yayasan Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan Papua
8. Kelompok Studi dan Pemberdayaan Masyarakat (KSPM) Papua
9. Lembaga Bantuan Hukum (LBH-HAM) Papua.