Untukmu
Papua aku berjuang. Berjuang dalam konteks menanam pendidikan
yang sebagai alat demi mengelola tanah dan kekayaan alam yang sudah
sedikit lagi tinggal cerita.
Perjuangan melawan
ketidakberdayaan dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang mudah dan
gampang, tetapi perjuangan untuk menjadi asing di kota studi adalah hak
mutlak yang ada pada setiap pelaku (pejuang).
Kekawatiran,
rasa memiliki, rasa bertanggungjwab, tetapi juga rasa bersalah ketika
menjadi yudas di ranah politik, birokrasi, yang menusuk ke sumsum
sehingga terus berjuang demi menjaga rona awal itu tetap ada dan terus
dinikmati sampai pada anak-anak tanah.
Perjuangan dalam
konteks pendidikan yang dirasakan oleh setiap anak bangsa Papua yang
menggeluti itu terasa di setiap kelompok, yang melatarbelakangi etnis
dan daerah yang berbeda tapi satu tujuan yaitu pendidikan. Pendidikan
sebagai jembatan untuk menjembatani setiap keluh kesah dalam
ketidakadilan akan pribadi, kelompok yang didesain sebaik mungkin untuk
menemukan rasa tenang akan ketidakpuasannya suatu problem.
Banyak
problem yang selau datang silih berganti hingga mengikis tujuan awal
dari pendidikan. Segala sesuatu yang bergerak dalam suatu konstitusi
ini sering tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kost, back to
money begitulah slogan yang trend dan marak.
Untuk menempuh
suatu pendidika bukanlah suatu yang gampang tetapi juga gratis, semua
ini perlu suatu dukungan dari biaya, tetapi juga dari diri itu sendiri.
Banyak sanggahan, temuan di lapangan akan eksistensi pendidikan
dalam konteks penghambat semangat dikarenakan biaya. Sadar atau tidak
sadar inilah yang sebagai universal dan juga sebagai virus psikolog
yang dengan mudah dan cepat bergerak mematikan setiap pertahana
semangat.
Kemudian dari pada itu timbul pertanyaan: untuk apa, dan untuk siapa saya berjuang?
Perjuangan
yang ideal adalah perjuangan yang tanpa ditopang dengan menyuapkan ini
dan itu demi Papua. Tetapi lahir dari rasa memilikinya akan segala
kekurangan dan kekayaan akan Papua.
Otonomi Khusus yang adalah
sentral bantuan yang diberikan demi terciptanya apa yang diinginkan
masyarakt Papua sehingga dikemas dan diatur sesistematis mungkin itu
tidak menjaminnya suatu perjuangan akan pendidikan itu.
Secara
kasat mata hal ini hanyala suatu senyawa yang diberikan dan tentunya
ada reaksi dari senyawa lain karena proses fiksasi. Otonomi Khusus
diberikan bukan dilihat dari implementasi suatu harapan masyarakat
Papua, tetapi adalah suatu yang diberikan oleh karena suatu tekanan
akan tujuan yang mereduksi dari setiap keluh kesah.
Pemberian
yang baik bukan dilihat dari balasan ataupun keharusan akan suatu
pemberian namun dilihat dari suatu perhatian ingin mendengar. Otonomi
Khusus diberikan hanya keterpaksaan saja, bukan dari suatu kerelaan.
Karena
di dalam tujuan diberlakukannya itu ada suatu perjanjian akan suatu
daerah demi menjaga dan menandatangani suatu pernyataan, yang tentunya
di kemudian hari ketika terdapat kesalahan yang sama, maka secara tidak
langsung kekuasaan sepenuhnya diatur oleh yang memberi Otonomi Khusus
tanpa melihat dan merasa akan sesamanya.
Oleh sebab itu, kalau
temuan pincangnya perjalaan Otonomi Khusus bagi Papua yang kurang lebih
13 tahun dan tinggal sedikit ini adalah bagian yang sudah ditanam sejak
lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001, niscaya akan begini hasilnya. Apa yang
ditanam akan dituai sama seperti sekarang ini. Dan apa yang dialami
sekarang ini merupakan apa yang dilakukan waktu itu.
Pemuda Kekinian Papua
Pemuda jika dipandang dari fisik adalah alligator yang siap untuk memangsa setiap musuh yang datang dan ingin merampas haknya.
Pemuda
Papua dalam era globalisasi ini hilang rasa bertanggungjawab akan
dirinya sebagai ciptaan (imagodey) yang sama dan diadakan untuk
melakukan tanggung jawab moral, iman kepada Yesus yang adalah sumber
dari segalanya.
Pemuda Papua pada masa kekinian bukanlah
pemuda berwibawa, berbudi perkerti, cakap, arif, militansi, pahlawan,
melainkan pathogen yang sebagai musuh alami yang ingin merusak akan
kelompok, komunitas bangsa dari citra budaya akan Papua.
Pemudi
Papua tidak lagi menjaga kesuciannya sebagai penerus akan tanah ini,
tentunya akan melahirkan anak yang beradat, karena kandungan serta
mulut sengaja dinodai dengan kenikmatan duniawi akibat dari rasa kecewa
akan kekasih, begitu juga sebaliknya bagi pemuda Papua.
Pemuda
yang adalah penerus tongkat estafet kini mati dan tidak berjalan dalam
melakukan gebrakan-gebrakan demi terwujudnya suatu tujuan yang jelas
dan hasilnya membawa perubahan. Pemuda hanya dilahirkan sebagai
pelengkap akan jagat raya dengan begitu dapat dipakai sebagai pelengkap
untuk suatu daerah baru.
Banyak pemuda Papua yang merusak
harga diri dengan alkohol, HIV/AIDS, sex bebas, dan narkoba sebagai
sahabat karib sehidup-semati. Apakah dengan begitu keberadaan Papua ke
depan mungkinkah lebih baik atau justru lebih buruk?
Jelas buruk. Sehingga Sodom dan Gemora akan terjadi di tanah yang penuh akan susu dan madu ini karena perilaku demikian.
Keterlibatan
pemuda akan pengembangan diri dalam oganisasi kepemudaan, tetapi juga
gereja dan masih banyak lagi sangatlah minim, kewajiban akan panggilan
akan suatu organisasi kepemudaan tidak serta merta mencari dan
menemukan pemuda Papua.
Pemuda Papua harus berjuang dan belajar serta jaga diri untuk masa depan Papua. Semoga!
Tabita Nasadit adalah
Mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi
Ilmu Biologi Konsentrasi Lingkungan, Universitas Kristen Tomohon
Manado, Sulawesi Utara.