Jeritan dari Papua
PAPUA memang
jauh dari Jakarta. Papua ada di ujung timur Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), sedangkan Jakarta adalah pusat dari seluruh aktivitas
politik, bisnis, dan pemerintahan di negeri ini. Lebih dari 60 persen
uang yang beredar di Indonesia ada diJakarta. Bagaimana dengan Papua?
Entahlah. Yang pasti, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang ada di ibu
kota.
Kesenjangan ekonomi antara
Papua dan wilayah lain di Indonesia juga sangat besar. Ketika banyak
orang di Jakarta menikmati lezatnya aneka makanan, saudara kita nun jauh
di Papua masih saja kesulitan mengisi perut. Kita pun terhenyak ketika
ada kabar puluhan warga yang mayoritas anak-anak meninggal karena busung
lapar dan gizi buruk di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
Jumlah korban meninggal memang
simpang siur. Laporan sebuah lembaga swadaya masyarakat menyebutkan,
ada 95 orang yang meninggal. Jumlah tersebut adalah akumulasi kejadian
mulai Oktober 2012 sampai Maret 2013. Di sisi lain, pemerintah daerah
membantah. Versi mereka, korban meninggal tidak sebesar yang
digembar-gemborkan media. Apa pun dalihnya, yang pasti ada jiwa yang
melayang akibat serangan busung lapar dan gizi buruk.
Bencana di Distrik Kwor,
Tambrauw, memang bukan yang pertama di Papua. Peristiwa serupa yang tak
kalah menggemparkan terjadi di pedalaman Yahukimo pada 2005. Saat itu 55
orang dikabarkan meninggal karena serangan busung lapar. Sulitnya medan
menjadi salah satu alasan tidak mudah mengatasi masalah kelaparan di
Yahukimo.
Wilayah hasil pemekaran
Kabupaten Jayawijaya itu berada pada ketinggian lebih dari 2.500 di atas
permukaan laut. Distribusi bantuan hanya bisa diberikan lewat pesawat
udara atau helikopter. Kondisi serupa terjadi di Tambrauw sekarang.
Kabupaten tersebut belum genap berusia lima tahun. Tambrauw adalah hasil
pemekaran dari Kabupaten Manokwari dan Sorong. Butuh sekitar enam jam
perjalanan darat dari Sorong untuk mencapai Tambrauw. Lewat laut juga
bisa. Tetapi, waktu tempuhnya lebih lama. Itu baru Tambrauw.
Untuk menuju Distrik Kwor,
butuh perjuangan lebih. Wilayah yang kini diserang bencana kelaparan itu
harus dicapai dengan jalan kaki 3–4 jam lagi.
Fasilitas kesehatan di Tambrauw
sangat memprihatinkan. Memang ada beberapa puskesmas pembantu.
Masalahnya, jarang ada tenaga medis yang stand by. Ada cerita warga empat hari berjalan menuju puskesmas. Begitu ketemu, eh tidak
dokter yang bertugas. Melihat kondisi tersebut, wajar bila kasus
kelaparan di Tambrauw berlarutlarut tanpa penanganan. Korban demi korban
pun berjatuhan.
Berkaca pada peristiwa di
Yahukimo, apa yang sekarang terjadi di Tambrauw seharusnya bisa
diantisipasi. Pemerintah wajib melakukan langkah taktis untuk mengatasi
masalah gizi buruk. Medan di pedalaman
Papua memang begitu berat dan
tidak mudah untuk ditaklukkan. Namun, itu seharusnya tidak menjadi
pembenaran untuk membiarkan kelaparan terus menggerogoti warga di sana.
Kalau pemerintah daerah tidak mampu, pemerintah pusat harus turun
tangan. Secepatnya! (*)Padang Ekspres
NAPAS : Wenda Kilungga